Kamis, 03 Juni 2010

EVANGELII NUTIANDI

(Imbauan Apostolik dari Bapa Suci Paulus VI tentang Karya Pewartaan Injil dalam Dunia Modern)
Pendahuluan
Situasi dunia modern sekarang ini ditandai dengan carut-marut centang perenangnya nilai-nilai moral kemanusiaan yang serba permisif, pragmatis dan praktis mengakibatkan terjebaknya kehidupan manusia ke dalam hidup yang serba instan-gampangan yang ujung-ujungnya manusia menjadi teralienasi. Manusia tidak sadar akan hakekat dan martabat yang disandangnya yakni Citra Allah, makhluk tertinggi yang ada di atas muka bumi ini.

Situasi ini muncul disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya kemajuan Iptek yang demikian pesatnya yang perubahannya perlu perhatian ekstra agar bisa tetap bisa mengikuti (up to date). Dunia telekomunikasi terutama internet menjadikan dunia ini sebagai global village yang mampu meruntuhkan tembok-tembok dan sekat-sekat yang menjadi pembatas yang membedakan aku dan dia, kami, kita dan mereka. Melalui kecanggihan internet, kehidupan bisa dianalogikan dengan pasar swalayan yang menyediakan segala macam barang. Orang tinggal ambil apa yang menjadi kebutuhannya. Meski tidak jarang orang pun mengambil tanpa menyadarinya apakah barang ini atau itu benar-benar ia butuhkan. Yang penting keranjang belanjaannya terlihat penuh demi menaikkan gengsi dan gaya hidup.



Berhadapan dengan situasi yang tidak selalu positif ekspresinya, Gereja dipanggil (terpanggil) untuk berbuat sesuatu demi keselamatan hidup manusia itu sendiri. Gereja tidak bisa berpangku tangan dan akan menjadi berdosa bila membiarkan kwalitas hidup manusia tidak menjadi baik atau malahan menurun. Inilah panggilan profetis Gereja karena Gereja ada dan hidup di dalam dunia.

Mencari Titik Temu
Situasi yang berubah cepat mendorong pula pergeseran paradigma akan nilai-nilai luhur yang ditawarkan oleh Inijl itu sendiri. Sementara Kitab Suci (KS) secara tekstual- literer tidak berubah kata-katanya. Bagaimana agar kata-kata atau tulisan KS tersebut tetap bisa “bunyi” memiliki isi yang bisa membawa menusia kepada pembebasan, keselamatan dan kegembiraan dalam penziarahan hidup ini? Di satu sisi Gereja punya kewajiban untuk menyampaikan Injil[1] kepada segala bangsa dimana hal tersebut merupakan perutusan-Nya yang hakiki.[2] Bagaimana pesan Injil tersebut bisa sampai, dimengerti dan dihayati serta akhirnya mampu diimplementasikan dalam kehidupan modern ini? Sehingga akhirnya totalitas manusia modern sungguh tampil sebagai manusia yang selaras dengan isi Injil Kristus tersebut. Bagaimana Injil bisa merubah perilaku manusia pada zaman sekarang ini, di sini dan sekarang (hic et nunc). Itu semua bukan perkara yang gampang segampang membalikkan telapak tangan. Maka untuk itu Gereja (hierarki) mengeluarkan ensiklik agar setiap/ sebagai anggota Gereja menjadi jelas, baik arah maupun tujuan kehadirannya di tengah-tengah dunia. Dengan metode yang pas diharapkan ensiklik mampu menjawab segala kehausan dan kebutuhan manusia atas pertanyaan-pertanyaan hidup manusia itu sendiri dengan asumsi ensiklik tersebut bisa dimengerti dan sedapat mungkin meyuakinkan.

Evangelii Nutiandi (EN) mencoba menjawab kegelisahan Gereja (manusia) tersebut. Meskipun ensiklik ini dikeluarkan sekitar dua dekade yang lalu namun tetap relevan dalam menjawabi situasi dunia modern sekarang ini. EN dikeluarkan untuk menjawab situasi kehidupan Gereja secara khusus dan dunia umumnya secara konkret dalam mewartakan Injil Kristus.

Gereja senantiasa melakukan pembaharuan (ecclesiae semper reformanda) dengan melakukan redefinisi, kritik dan otokritik. Konsili Vatikan II (KV II) telah berkhir satu dasawarsa ketika EN ini dikeluarkan. Bagaimana angin segar KV II tetap bisa dihirup dengan leluasa tentunya Gereja tidak tinggal diam berpangku tangan. Penghargaan terhadap martabat dan kebebasan beragama (Dignitas Humanae) yang didengungkan oleh KV II ternyata membawa implikasi yang luas. Di dalam tubuh Gereja sendiri, orang kembali mempertanyakan seberapa pentingnya orang tetap aman berada dalam status quo seperti: tetap beriman katolik, tetap menyandang status klerik, biarawan-wati, semangat evangelisasi ke ujung dunia (Ad Gentes), dst. Konsili Vatikan II “seolah-olah menjadi lebih longgar” dalam katolisisme.

Berhadapan dengan realitas yang berkembang sedemikian rupa, maka EN ingin menjernihkan kembali cara pandang Gereja terhadap semangat evangelisasi (misioner) di tengah dunia modern. Bahwa semangat dan nilai-nilai Injili harus mampu mewarnai kehidupan manusia. Gereja menghendaki agar setiap orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan yang benar.[3]

Solusi Alternatif
Gereja sangat menghargai kebebasan beragama dan hal ini pun dicantumkan kembali dalam EN poin 39, yakni bahwa kebebasan agama menduduki tempat yang utama diantara hak-hak manusiawi yang fundamental.[4] Martabat kebebasan yang diberikan Allah kepada manusia tetap selalu ingin ditegakkan dan dijunjung tinggi oleh Gereja termasuk dalam hal beragama. Namun begitu Gereja tetap bertanggung jawab pula terhadap kehidupan menggereja secara khusus dan kehidupan secara umum. Maka berdasarkan EN dan berkaitan dengan cara pewartaan Injil dalam dunia modern sekarang ini, saya melihat ada poin yang perlu mendapat perhatian, yakni :

1. Internal Gereja artinya semua Umat Allah wajib bertanggungjawab dan terlibat secara aktif dalam mempertahankan iman Katoliknya. Antara lain:
  1. Kesaksian hidup sehari-hari sebagai sarana profetis. Ini penting karena kita dikenal sebagai murid Kristus karena melaksanakan perintah-Nya (bdk. Yoh.13:34-35). Pohon dikenal dari buahnya (bdk. Luk. 6:43-45). Perilaku sehari-hari menentukan apakah seseorang memiliki integritas atau tidak dengan iman/agama yang diyakininya. Menurut saya inilah evangelisasi yang ampuh dalam dunia modern sekarang ini. Tanpa perlu berkoar-koar siapa itu Yesus, apa itu Gereja, dst. kita sudah tampil menjadi nabi yang senantiasa menampilkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikkan.
  2. Pedagogi yang utuh dan menyeluruh. Mempersiapkan sebaik mungkin proses katekisasi dan mistagogi bagi mereka yang telah dibaptis. Selama ini mistagogi kurang digarap dengan baik. Ada tren bahwa menjadi katolik sudah selesai pada ritual pembaptisan. Padahal jujur banyak hal belum diketahui atau dipahami secara baik dan benar oleh orang katolik meski ia sudah dibaptis. Proses pembelajaran harus terus dilangsungkan secara berjenjang, sejak masa kanak-kanak hingga orang dewasa dengan melibatkan semua komponen yuang dimiliki oleh Gereja itu sendiri. Sekolah Minggu, Mudika, ME, ibadat, ekaristi, pendalaman KS, kursus KS, ASG, dst., dsb. Merupakan sarana-sarana yang perlu dikembangkan terus untuk memperkokoh iman umat agar ia mampu dan siap menghadapi dan mengantisipasi situasi zaman yang serba tidak pasti. Secara personal dan komunal setiap orang katolik diajak untuk selalu membentengi diri dengan nilai-nilai Injil. Untuk itu KS suci perlu terus digali dan diinterpretasikan secara benar. Karena di dalam-Nya kita akan mengenal siapa itu Yesus Sang Penyelamat Umat Manusia. Maka umat perlu terus didorong untuk mulai membaca dan mendiskusikannya dalam komunitas basis.

2. Eksternal.
  1. Gereja hadir untuk semua orang tanpa terkecuali. Untuk itu sikap inklusif perlu dikembangkan terus. Kerjasama dengan mereka yang non katolik menjadi bukti bahwa Gereja menerima kehadiran orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kerjasama tersebut a.l dengan :
  2. Agama Kristen. Dalam hal ini gerakan ekumenis, menjadi jembatan yang bisa menghubungkan jurang pemisah yang timbul akibat skisma dan reformasi. Tetap harus diperhatikan bahwa liturgi katolik tidaklah sama atau bisa dicampuradukkan begitu saja dengan dalih ekumenis. Berperilaku dan bersikap tegas bahwa katolik tetap katolik dan tidak bisa disamakan dengan kristen yang lain bukanlah sikap arogan tapi justru ingin meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang benar. Itulah beriman yang dewasa dan bertanggung jawab.
  3. Agama non kristen. Di sini mengembangkan sikap dialogal dan kerja sama dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan menjadi sarana yang tepat untuk mewartakan kabar gembira bagi semua orang dimanapun berada. Bahwa martabat kemanusiaanlah yang harus kita bela lepas dari identitas yang disandangnya. d. Kaum humanis. Sekarang ini banyak orang yang apatis terhadap agama namun sangat peduli terhadap nilai-nila kemanusiaan. Bersama kaum humanis seperti ini Gereja pun harus terbuka dan menjalin kerjasama. Bahwa ada nilai-nilai yang dijunjung dan diperjuangkan dalam hidupnya.

Penutup
Akhirnya mewartakan Injil di tengah kehidupan sekarang ini bukanlah cuma perkara pembatinan ortodoksi semata tapi serentak pula ortopraksi ditengah kehidupan Gereja secara khusus dan masyarakat pada umumnya. Kemajuan Iptek (internet) harus direspon secara positif yakni dengan memanfaatkannya sebagai alat/sarana untuk pewartaan. Darinya ssetiap orang bisa mengakses hal-hal yang berkenaan dengan Gereja baik iman maupun ajran moral. Keputusan terakhir, akhirnya berpulang kepada setiap individu yang memiliki kebebasan.

Dalam bimbingan Roh Kudus, paradigma proces oriented harus pertama dan utama dijalankan terlebuih dahulu dengan baik dan maksimal, selanjutnya atas kemurahan Allah semata maka, paradigma goal oriented pun akan mengikuti dengan sendirinya. Akhirnya, Evangelii Nutiandi menjadi semacam tongkat gembala yang mengarahkan kawanan domba-domba agar tidak hilang arah dan tersesat. Sebaliknya mampu menggembalakan kawanan tersebut sampai di padang rumput yang hijau.

Catatan Kaki:

[1] Hadiwikarta, J., Evangelii Nutiandi (terj.), Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990, Hal. 10
[2]
Ibid., Hal. 15
[3]
Bdk. 1 Tim. 2:4 “...yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengeta-huan akan kebenaran. Bdk. juga Luk. 1:4 “… supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar.” Bdk. juga Yoh. 20:31 “tetapi yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesus-lah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.”
[4]
Seperti Yesus yang memberikan kebebasan kepada para murid-Nya dalam Yoh. 6:66-67 “Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia. Maka kataYesus kepada kedua belas murid-Nya: ”Apakah kamu tidak tidak mau pergi juga?”
 


Paroki St.Maria Tanjung Selamat Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah komentar...